Sabtu, 19 Mei 2012

Esensi suatu wujud


Siapa kita???
Manusia...
Apa yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lain???
Kekayaankah? Jabatankah? Rumahkah? Agamakah?
Itu semua hanyalah sebuah “pakaian”, sesuatu yang menjadikan kita nampak berbeda, sesuatu yang membentuk kotak-kotak pemisah, serta menjadikan diri kita subjektif dalam memandang orang lain.
Bagaimana ketika “pakaian” itu kita tanggalkan/lepaskan dan kita menjadi telanjang sama seperti ketika kita pertama kali membuka mata di dunia ini???
Masih berbedakah kita???
Kita manusia adalah sama. Sama-sama lahir telanjang, sama-sama lahir dari rahim seorang Ibu, sama-sama diciptakan oleh Tuan kita, sama-sama menghirup oksigen, dan sama-sama berakal. Lalu kenapa kita mempunyai kehidupan yang berbeda? Ada yang bernasib baik dan ada yang bernasib kurang baik? Yang menjadikan semua itu berbeda adalah kadar dari setiap point kehidupan, ibarat peribahasa “Kehidupan itu seperti roda, terus berputar!” segala perbuatan yang baik ataupun yang buruk akan selalu mendapatkan balasan, hubungan sebab-akibat dalam jalur samsara itu berlaku. “Tidak! Itu semua sudah takdir!” baiklah coba kita telaah kembali setiap langkah atau setiap proses yang sudah kita lalui, Adakah orang yang menjadi miliarder hanya dengan duduk-duduk santai di rumah? (Iya, kalau dia mendapatkan warisan, lalu bagaimana ketika warisannya habis? Pasti miskin kalau dia tidak mau berusaha!) Adakah orang yang terbebas dari sakit tanpa ada upaya penyembuhan? (Ada, dan orang itu terbebas untuk selamanya *meninggal dunia*) Takdir itu adalah sebuah ajaran yang harus kita mengerti dan pahami bukan hanya pada kulit luarnya saja, tapi juga esensi atau makna di dalamnya. Semua hal yang terjadi itu memerlukan sebuah proses, dan sekali lagi hukum kausalitas itu ada.
Kembali pada “pakaian” dan “telanjang”, ketika kita sama-sama telanjang, masih pantaskah kita untuk sombong? Lalu apa yang kita sombongkan? Kita itu sama, sama tinggi ketika berdiri dan sama rendah ketika berbaring. “Pakaian” itu hanyalah kulit / hanyalah pembungkus luar, adanya “pakaian” bukan untuk menjadikan kita saling membeda-bedakan namun agar kita dapat hidup bermoral.
Kita diciptakan bukanlah untuk sebuah misi penghancuran alam semesta, tapi untuk kedamaian, kesejahteraan, keseimbangan alam semesta atau kehidupan ini. Sungguh ironis ketika adanya “pakaian” yang sebenarnya bertujuan untuk kesejahteraan, namun malah dijadikan samurai untuk saling melukai. Banyak darah yang tumpah hanya untuk meneriakkan kata BENAR, sungguh aneh rasanya ketika meneriakkan kata BENAR dengan cara yang SALAH. Semua merasa paling benar, semua merasa paling sempurna dan yang lain salah, saling tunjuk tentang kesalahan tanpa pernah mau bercermin tentang diri sendiri. Padahal ketika kita merasa paling sempurna, ketika itu pula kita menjadi manusia yang paling subjektif dan buta akan kebenaran. Banyak sekali fenomena-fenomena di masyarakat yang terjadi karena persoalan “pakaian”, seperti pertingkaian antar kelompok, pengeboman atau pembunuhan masal atas nama jihat, dan bahkan berlomba-lomba untuk membuat “pakaian” baru. Inikah yang dinamakan kesejahteraan? Inikah kita manusia?  Dan untuk apa “pakaian” jika tak dipahami esensi dari “pakaian” itu sendiri? Jika dengan “telanjang” dapat menjadikan kita bersatu dalam satu langkah, satu visi dan satu misi, yakni untuk kesejahteraan sesama manusia dan alam semesta, kenapa tidak???
Pada dasarnya semua “pakaian” itu memiliki tujuan yang sama, untuk menutupi aurat dan menjadikan manusia menjadi makhluk yang bermoral.  Dan ketika hal ini kita korelasikan dengan agama, semua agama itu bertujuan sama yakni kesejahteraan, adanya agama itu adalah untuk mengatur dan menjadi panduan hidup, semua kitab suci mengajarkan kita untuk menyembah Tuhan yang SATU, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar